Tentang Niat dalam Ibadah
Pendahuluan
Niat
adalah ruh perbuatan dan inti sarinya.[1] Perbuatan
tanpa niat bagaikan jasad mati tanpa ruh, sedangkan niat adalah ibadah yang
disyariatkan yang memiliki pengaruh dalam amal perbuatan dan dengan perbuatan
tersebut muncul sebuah hukum yang dapat dibangun di atasnya. Niat adalah dasar
dari perbuatan, baik kaedahnya dan ukuran yang dapat membedakan atnara sah,
rusak, diterima dan ditolak. Perbuatan bisa dikatakan sah jika niatnya juga
sah, begitu juga sebaliknya, jika niatnya jelek, maka perbuatannya juga
dikatakan jelek, tentunya hal ini sangat menentukan kesesuaian dengan balasan
yang akan diterima di dunia dan di akhirat.
Niat berlaku
dalam berbagai bab-bab fikih seperti dalam transaksi perdagangan dan
kepemilikan, tetapi oleh Ibnu Nujaim,
niat dijadikan pada perbuatan ukhrowyah sebagi kaidah pertama dari beberapa
kaidah-kaedah fikih besar lainnya, yakni kaedah "la tsawaba illa bi
niyyatin" (tidak ada pahala kecuali dengan niat).[2] Dan jika
terdapat hukum-hukum kebiasaan adat (perbuatan sehari-hari) semuanya tergantung
pada niatnya, sehingga niat sangat penting untuk diutamakan dalam segala
perbuatan dan menjadikannya sebagai rukun pertama.
Pandangan Al-Qur'an Tentang Niat
Dalam
istilah sehari-hari, kata an-nawa (النوى) banyak digunakan untuk pengertian
“maksud” atau “tujuan”. Al-Raghib al-Asfahani mengatakan bahwa an-niiyyah (النية)
berasal dari kata an-nawa (النوى) Dia mengartikan an-nawa
itu dengan ثوجه القلب نحو العمل (tekad hati untuk melakukan perbuatan
tertentu). Dalam al-Qur'an banyak disinggung masalah niat dalam beberapa
redaksi dan istilah yang beragam, walaupun niat tidak disebutkan secara
langsung, tetapi substansinya adalah niat,
tujuan dan keikhlasan.
Firman
Allah swt dalam al-quran surat al-Bayyinah ayat ke-5 dan Surat al-Zumar ayat 2
dan 11, Surat al-A’raf ayat 29, Surat al-Gofir ayat 14 dan 65, dan Surat Luqman
ayat 32 . Di dalam ayat-ayat ini al-ikhlash diformulasikan dengan redaksi kata
perintah dalam konteks menjelaskan keadaan dan sifat Nabi dan kaum mukminin.
Kedua keadaan tersebut kembali kepada niat dan berbagai implikasinya. Tujuan
keikhlasan tidak akan terwujud kecuali dengan menolak kemusyrikan.
Niat
juga diungkapkan dengan menggunakan istilah al-iradah. Hal ini dapat dilihat di
dalam al-Quran Surat al-Isra’ ayat 19, al-Furqan ayat 62, al-Qoshash ayat 19,
al-Baqarah ayat 233 dan 228, Surat Hud ayat 88. Di dalam ayat-ayat tersebut
al-iradah diungkapkan dalam makna yang berbeda-beda dalam konteks berbagai
macam al-qushud wa al-tasharrufat (tujuan dan perbuatan). Keinginan
(iradah) untuk merenugi kekuasaan Allah SWT, rasa menghendaki akhirat dan
perbaikan umat dan menunaikan hak-hak wajib baik itu bersifat finansial dan
lainnya, semuanya tergantung pada niat dan tujuan. Dengan memformat perbuatan
seperti ini menjadikannya bersifat syar’iyah berakibat pada pengaruh (efeknya)
dan di bangun di atasnya hukum-hukum yang terkait dengannya.
Niat
juga diungkapkan dengan kata al-ibtigo’ (tujuan, sasaran atau target). Misalnya
di dalam al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 94, at-Tahrim ayat 1, al-Qashash ayat
55, dan Ala ‘Imran ayat 5 dan ayat 85, dan di dalam surat al-Ra’d ayat 22 dan
al-Isra’ ayat 28. Di dalam ayat-ayat tersebut al-ibtigo’ muncul sebagai hal ()
dan sifat (), dalam konteks larangan maupun perintah. Sehubungan dengan ini
al-ibtigo’ mengandung makna al-iradah dan al-qashdu. Inilah kemudian
menjelaskan bahwa sebab semua perbuatan yang diperintah maupun yang dilarang
adalah niat. Perbuatan yang diperintahkan membutuhkan niat, perbuatan yang
dilarang pun juga membutuhkan niat.
Pandangan Sunnah Tentang Niat
Niat
baik redaksi mapun maknanya muncul pada hadis Nabi. Dalam hadis tersebut
Ralullah saw menjadikan niat[3] sebagai
salah satu syarat sahnya suatu perbuatan, perbuatan tiada nilainya jika tanpa
disertai dengan niat, sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Umar Bin
Khattab, Nabi bersabda " Inna maa al-a'maalu bin niyat….."(perbuatan
itu tergantung pada niatnya…….).[4] serta hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah
ra, Nabi bersabda " Inna maa
yaba'tsu an-naasa ala niyyatihim" (manusia dinilai dengan niatnya"[5] dan masih
banyak hadits yang lain yang membicarakan tentang pentingnya niat.
Dalam Lisân
al-’Arab dan Mu’jam al-Wasîth, niat adalah bentuk masdar dari kata
kerja ”nawâ-yanwî” berati kehendak hati untuk mengerjakan suatu perkara.
نَوَى - يَنْوِيْ نِيَّةً وَ هُوَ
عَزْمُ القَلْبِ عَلَى أَمْرٍ مِنَ الأَُمُوْرِ[6]
Dalam Kamus Al Munawwir, berarti
maksud hati; hajat; berniat sungguh-sungguh; menjaga; melindungi; berpindah
tempat alias hijrah; pergi jauh; menyampaikan; melemparkan.[7] Sedang Dalam Ensiklopedi Al Qur’an diuraikan
kata ”an-nawa” pada ayat 95 Q.S. al-An’âm, menurut Ibnu Faris, seorang
ahli bahasa kenamaan, menjelaskan bahwa an nawa mempunyai dua arti; at-tahawwul
min dârin ilâ dârin, dan at-tamar. Dalam istilah sehari-hari an
nawa banyak digunakan untuk pengertian maksud atau tujuan. Hasil perubahan
arti kata ini menjadi maksud dan tujuan lebih dekat kepada arti pertama karena
bepergian ke suatu negeri tertentu tidak terlepas dari tujuannya.
A. Niat Sebagai Syarat
Diterimanya Perbuatan
Ada
dua syarat yang harus dipenuhi supaya amal perbuatan diterima oleh Allah swt,
yang pertama adalah dengan adanya niat yang ikhlas dan benar. Dan yang kedua
adalah perbuatan atau pekerjaan tersebut harus nampak jelas, yakni sesuai
dengan yang disyariatkan oleh-Nya, bukan bid'ah. Ibnu mas'ud berkata "
Perkataan tidak akan berguna tanpa adanya perbuatan, perkataan dan perbuatan
tidak akan berarti apa-apa tanpa adanya niat, dan perkataan perbuatan serta
niat tidak akan bermanfaat jika bertentangan dengan Sunnah Rosulullah yang
Shohihah.[8]
Keadaan (Mahal) Niat
Konsensus
para ulama bahwa tempat niat adalah di hati (al-qalbu). Karena niat yang
dimaknai al-qashdu dan al-‘azmu (tujuan dan tekad) untuk melakukan
sesuatu perbuatan sumbernya adalah al-qalbu. Inilah inti dari makna hadis innama
al-a’malu bi an-niyyat,tidak satu pun di antara para ulama
membantahnya.
Silang
pendapat justru terjadi pada apakah niat itu harus dilafalkan, apakah pelafalan
itu termasuk dalam bingkai hukum syarat atau sunnah. Dengan cara sir atau jahr,
dalam semua ibadah atau sebagiannya, atau apakah pelafalan itu termasuk bid’ah
atau bukan.
Kemunculan
silang pendapat tersebut sangat baru, karena belum dikenal pada masa sahabat
dan tabi’in. Memang umumnya para ulama tidak mensyaratkan pelafalan niat,
andaikan ada yang berpendapat demikian itu semata-mata muncul dari kalangan
muta-akh-khirin fuqaha’ Hanafiyah dan Syafi’iyah. Namun pendapat mereka ini
dikoreksi oleh para fuqaha’ yang focus meneliti seputar masalah tersebut.[9]
Tujuan Dari Niat Dalam Ibadah
Tujuan
dari niat ibadah ada dua perkara, pertama: membedakan antara ibadah
dengan adat (tamyiz al-‘ibadat ‘an al-‘adat), misalnya duduk di masjid untuk
istirahat atau I'tikaf, hal ini dapat dibedakan dengan niatnya. Contoh lain:
menyerahkan harta apakah akad hibah, hadiyah, atau wadi’ah, atau ditujukan
untuk taqarrub (medekatkan diri pada Allah) seperti zakat, sodakah biasa
atau sebagai kaffarat. Jika semua ini masih dalam ketidakpastian, maka niat
sangat berperan untuk memastikan jenis perbuatan tersebut.
Kedua
adalah membedakan antara peringkat ibadah yang satu dengan ibadah yang lainnya
(tamyiz mzrztib zl-‘ibadat ba’dhuha min ba’dhin) , misalnya dengan
adanya perbedaan ibadah yang wajib, sunnah dan lain-lain yang disyariatkan
dalam agama. Antara lain perbuatan shalat ada yang fardhu dan Sunnah, apakah
bersifat qadha’ atau ada’.
Niat Yang Ikhlas Dasar
Diterimanya Amal
Keberadaan niat harus disertai dengan menghilangkan segala keburukan,
nafsu, dan keduniaan. Niat itu harus ikhlas karena Allah dalam setiap amal,
agar amal itu diterima di sisi Allah. Ibnu Rajab mengemukakan bahwa setiap amal
shalih mempunyai dua syarat, yang tidak akan diterima kecuali dengan keduanya; pertama,
niat yang ikhlas dan benar. Kedua, sesuai dengan sunnah, mengikuti
contoh Nabi SAW.[10]
Dengan syarat
pertama, kebenaran batin akan terwujud, sebagaimana disebutkan dalam sabda Nabi
SAW. "Sesungguhnya amal-amal itu hanya tergantung pada niatnya."
Inilah yang menjadi timbangan batin. Dan dengan syarat kedua, kebenaran lahir
akan terwujud, sebagaimana disebutkan dalam sabda beliau :
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ [11]
Barangsiapa yang beramal tanpa adanya tuntutan dari kami,
maka amalan tersebut tertolak.
Allah telah menyebutkan dua syarat ini dalam beberapa ayat, di antaranya:
وَمَنْ
أَحْسَنُ دِيناً مِّمَّنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لله وَهُوَ مُحْسِنٌ واتَّبَعَ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفاً وَاتَّخَذَ اللّهُ إِبْرَاهِيمَ خَلِيلاً[12]
Dan
siapakah yang lebih baik agamanya dari orang yang ikhlas menyerahkan dirinya
kepada Allah, sedangkan diapun mengerjakan kebaikan dan ia mengikuti agama
Ibrahim yang lurus.
Menyerahkan
dirinya kepada Allah artinya, mengikhlaskan amal kepada Allah, mengamalkan
dengan iman dan mengharapkan ganjaran dari Allah. Sedangkan berbuat baik
berarti dalam beramal mengikuti apa yang disyariatkan Allah, dan apa yang
dibawa oleh Rasul-Nya berupa petunjuk dan agama yang haq.[13]
Dua
syarat ini, bila salah satunya tidak terpenuhi, maka amal ini tidak sah. Jadi
harus ikhlas dan benar. Ikhlas karena Allah, dan benar mengikuti petunjuk Nabi
SAW. Lahirnya ittiba', dan batinnya ikhlas. Bila salah
satu syarat ini hilang, maka amal itu akan rusak. Bila hilang keikhlasan, maka
orang itu akan jadi munafik dan riya' kepada manusia. Sedangkan bila hilang ittiba',
artinya tidak mengikuti contoh Nabi SAW maka orang itu sesat dan bodoh (jahil).[14]
Dari uraian di atas, jelaslah betapa pentingnya peran niat dalam amal.
Niat itu harus ikhlas, tetapi ikhlas semata tidak cukup menjamin diterimanya
amal, selagi tidak sesuai dengan ketetapan syariat dan dibenarkan Sunnah.
Sebagaimana tidak akan diterimanya amal yang dilakukan sesuai dengan ketentuan
syariat, selagi tidak disertai dengan ikhlas; sama sekali tidak ada bobotnya
dalam timbangan amal.
B. Waktu
Niat dan Tempatnya
Menukil kesepakatan ulama,
Ibnu Taimiyyah mengemukakan bahwa waktu niat itu di awal melakukan ibadah atau
perbuatan. Niat tempatnya di hati, bukan diucapkan dengan lisan. Bila yang
diucapkan lisan seseorang berbeda dengan apa yang ia niatkan dalam hati, maka
yang diperhitungkan ialah yang diniatkan, bukan yang dilafalkan. Walaupun ia
mengucapkan dengan lisannya bersama niat, sedangkan niat belum sampai ke dalam
hatinya, maka hal itu tidak cukup. Demikian menurut kesepakatan para imam kaum
Muslimin, karena sesungguhnya niat itu adalah jenis tujuan dan kehendak yang
pasti.[15] Orang
Arab biasa mengatakan:
نَوَاكَ اللهُ بِخَيْرٍ
(Allah menunjukkan kepada
kamu kebaikan)
Talafudz (melafalkan) niat
tidak pernah dicontohkan oleh Nabi SAW, juga tidak pernah diriwayatkan oleh seorangpun,
baik melalui periwayatan yang shahih, dhaif, maupun mursal. Tidak seorangpun
sahabat yang meriwayatkan, dan tidak ada seorang tabi'in pun yang menganggap
baik masalah ini, dan tidak pula dilakukan oleh empat Imam Madzhab yang mashur.
C. Kaidah-kaidah Niat
عَنْ أَمِيْرِ المُؤْمِنِيْنَ أَبِيْ حَفْصٍ عُمَرَ بْنِ الخَطَّابِ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ يَقُوْلُ : إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّياَتِ وَ إِنَّماَ لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَ رَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَ رَسُوْلِهِ وَ مَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا، أَوِ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ[16]
Dari Amirul Mukminin Abu Hafsh,
Umar bin Khaththab radhiyallahu'anhu, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Sesungguhnya amal-amal itu
tergantung dengan niat, dan sesungguhnya seseorang itu hanya akan mendapatkan
balasan sebagaimana niatnya. Maka barangsiapa yang hijrahnya karena Allah dan
Rasul-Nya, maka (pahala) hijrahnya (dinilai) kepada Allah dan RasulNya. Dan
barangsiapa yang hijrahnya diniatkan untuk kepentingan harta dunia yang hendak
dicapainya, atau karena seorang wanita yang hendak dinikahinya, maka hijrahnya
akan dibalas sebagaimana yang ia niatkan."
Tidak diragukan lagi, niat itu
merupakan neraca bagi sahnya suatu perbuatan. Niat merupakan kehendak yang
pasti, sekalipun tidak disertai dengan amal. Maka dari itu, kadang-kadang
kehendak ini merupakan niat yang baik lagi terpuji, dan kadang merupakan niat
yang buruk lagi tercela. Hal ini tergantung dari apa yang diniatkan, dan juga
tergantung kepada pendorong dan pemicunya; apakah untuk dunia ataukah untuk
akhirat? Apakah
untuk mencari keridhaan Allah, ataukah untuk mencari keridhaan manusia? Sebagaimana sabda
Rasulullah SAW :
…ثُمَّ يُبْعَثُوْنَ
عَلَى نِيَّاتِهِمْ…[17]
(...kemudian
mereka dibangkitkan menurut niat mereka...)
Karena
peranan niat dalam mengarahkan amal menentukan bentuk dan bobotnya, maka para
ulama menyimpulkan banyak kaidah fiqh yang diambil dari hadits ini, yang
merupakan kaidah yang luas. Kaidah umum dari hadist di atas adalah yang
berbunyi :
الأمـور بمقـاصدها
(Segala perkara tergantung dari tujuan niatnya)
Setiap amal
perbuatan, baik dalam hubungannya dengan Allah maupun dengan sesama makhluk, nilainya
ditentukan oleh niat serta tujuan dilakukannya. Dalam perbuatan ibadah
misalnya, niat karena dan untuk Allah adalah merupakan inti yang menentukan sah
atau tidaknya suatu ibadah, di samping merupakan pembeda tingkatan suatu
ibadah, apakah ibadah fardu, sunat, atau mubah, juga dapat merupakan pembeda
antara satu ibadah dengan ibadah yang lain dan anatara ibadah dan bukan ibadah
atau amal kebiasaan.
Sedangkan dalam perbuatan yang hubungannya dengan makhluk, seperti
mu’amalah, munakahat, jinayah dan sebagainya, niat adalah merupakan penentu;
apakah perbuatan tersebut mempunyai nilai ibadah atau sebaliknya tidak
bermuatan ibadah. Dalam amal kemasyarakatan dapat diketahui dengan tanda-tanda,
petunjuk-petunjuk (qarînah) yang ada, apakah perbuatan tersebut karena
Allah atau karena manusia.
Niat di samping sebagai alat penilai perbuatan, juga dapat merupakan ibadah
tersendiri seperti dapat dipahami dari hadist Nabi SAW yang diriwayatkan oleh
Ath-Thabrânî dari Sahl ibn Sa’d :
نية المؤمن خير
من عمله
(Niat seorang mukmin itu lebih baik daripada amalnya (yang tanpa niat)
Dari kaidah
umum di atas, para ulama menderivasinya menjadi banyak kaidah-kaidah
turunannya, yaitu sebagai berikut :
1.
إن المنوي من العمل إما أن يكون عبادة محضة لا يلتبس بالعادات، وإما أن يكون جنسه مما يشبه العادات[18]
(Niat perbuatan sebagai ibadah mahdhah dan
jenis ibadah yang menyerupai adat kebiasaan, tidak boleh dicampuradukkan dengan
adat kebiasaan)
Terkait
dengan statemen kaidah di atas, maka niat disyariatkan untuk beberapa hal
berikut :
Pertama, untuk membedakan antara satu ibadah dengan
ibadah yang lain. Misalnya seseorang yang memerdekakan seorang hamba, apakah ia
niatkan untuk membayar kafarah (tebusan), ataukah ia niatkan untuk nadzar, atau
yang lainnya? Atau seseorang mengerjakan shalat 4 rakaat; apakah diniatkan
shalat dhuhur, shalat sunnat atau shalat Ashar? yang membedakannya adalah
niatnya. Jadi yang penting, untuk membedakan dua ibadah yang sama adalah niat.
Kedua, untuk membedakan antara ibadah dengan kebiasaan (adat). Misalnya duduk di
masjid; apakah duduk istirahat, apakah untuk i'tikaf, Menafkahkan harta dapat
dikategorikan sebagai nafkah wajib, hadiah atau tali asih, dan bisa juga
sebagai zakat wajib atau sedekah sunat. Begitu juga dengan penyembelihan hewan
yang dapat dikategorikan sebagai kurban, sembelihan, pesta, atau jamuan untuk
para tamu, kesemuanya sangat bergantung pada niatnya. Yang membedakan antara ibadah dan
kebiasaan adalah niat.[19]
2.
القربات التي لا لبس فيها لا تحتاج
إلى نية الإضافة لله تعالى[20]
(al-Qurbat (perbuatan-perbuatan
untuk mendekatkan diri kepada Allah) yang tidak ada kekacauan dan kesamarann di
dalamnya tidak membutuhkan adanya niat khusus)
Seperti iman kepada Allah
dan mengagungkan-Nya, takut akan siksanya, harap akan pahala yang
diberikan-Nya, tawakkal atas anugerah-Nya, melakukan tasbih dan tahlil
untuk-Nya, membaca al-Qur’an dan semua jenis zikir lainnya yang berorientasi
pada al-qurbat. Perbuatan-perbuatan tersebut tidak membutuhkan niat-niat
pengkhususan, karena karakter dari perbuatan-perbuatan tersebut hanya dapat
ditujukan kepada Allah SWT. Selain Allah tidak berhak atas perbuatan qurbat
tersebut, sehingga seseorang tidak harus berniat untuk melakukan tasbih, zikir
atau menyembah Allah. Akan tetapi amalan-amalan ini membutuhkan niyat al-qashd
dan iradati wajhullah, sehingga
sebagai bagian dari ibadah, amalan-amalan ini perlu dibarengi dengan niyat
ikhlas, al-mahabbah dan ta’zim kepada Allah, mengharapkan pahala dari-Nya,
takut akan siksa-Nya, maka niyat ini menjadi keharusan yang ditentukan. Jika
seseorang melakukan amalan qurbat semacam ini, dia dalam keadaan lupa, atau
terucap di lisannya sedang ia tidur, atau terucap dari lisan seorang gila atau
mabuk, semua ucapan dalam keadaan tadi bukan ibadah. Demikian pula kalau
seseorang ingin dilihat dalam perbuatannya atau menuntut pujian dan sanjungan,
maka dalam keadaan seperti ini pahalnya menjadi berkurang, sejalan dengan
berkurangnya keikhlasan mereka.
[1] Ibn Qayyim al-Jauziyah, I’lam al-Muwaq-qi’in, hal: III/123 dengan
judul an-niyyat ruh al-‘amal wa lubbuhu”.
[2] liaht Al-asybah wa an-nadhoir
oleh Ibnu Nujaim al-mishro al-hanafy hal 34.
[3] Redaksi Arab dari hadis akan
menyusul:…………lihat Bukhari Juz VII, hal: 231bab 23.
[4] HR. Bukhori 1, Muslim 1908 dan
di didalam kutubus sittah dan al-Muwatta'
[5] HR. Baihaqi dalam Syi'bil Iman
dan lainnya mengatkan ini Dhoif, lihat pula dalam kitab Fathul Baari 1/11
[6] Ibn Manzhur, Lisanul 'Arab, (Beirut: Daar
Ihya at Turats al-'Arabi), 14 : 343; Mu'jam al-Wasith, 2 : 965.
[7] Ahmad Warson Munawwir,
Kamus Munawwir Arab Indonesia, cet. XIV (Yogyakarta: Pustaka Progresif, 1997).
[8] Jamiul ulum wal hukmi fi syarhi
khomsina haditsan min jawamiil kalim oleh Ibnu Rojab al-Hambali ra, hal; 9
[9] Lihat misalnya al-Muhazzab karya
……………………………
[10] Lihat Ibnu Rajab, Jâmi’ al-’Ulûm wa al-Hikam, tahqiq oleh Syu'aib
Al Arnauth dan Ibrahim Bajis, (Mu'assassah ar-Risalah, 1419H), h. 12.
[11] (Hadist riwayat Bukhari no. 2697, Muslim no. 1718, Abu Dawud no. 4606
dan Ibnu Majah no. 14 dari hadits Aisyah) dalam Al-Kutub at-Tis’ah, (Syirkah
ash-Shahr li Barâmij al-Hâsib, 1996).
[12] Q.S. An Nisa' : 125.
[13] Ibnu Rajab, Jâmi’ al-’Ulûm…, hal. 13.
[14] Ibnu
Katsir, Tafsir al-Qur’ân al-‘Azîm, (Beirût: Dâr al-Fikr, 1992), I
: 616.
[15] Syaikh al-Islâm Ibn Taimiyyah, Majmû’ Fatâwâ, Juz XXVI : 21-24.
[16] Hadist ini di riwayatkan oleh Bukhari, Kitab Bad'ul Wahyu no. 1, dalam Kitabul Iman no. 54, ada
beberapa tempat dalam Shahih-nya, seperti kitab Al-'Itq, dan lainnya; Muslim, Kitabul Imarah, Bab Innamal A'malu bin Niyyat, no. 1907; Abu
Dawud dalam Sunan-nya, Kitabut Thalaq, Bab Fi Ma 'Uniya Bihi at Thalaq
wan Niyat, no. 2201; At-Tirmidzi dalam Sunan-nya, Kitab Fadha-ilul Jihad, Bab Man Ja'a fi Man Yuqatilu
Riya'an Wa liddunya, no. 1647; An Nasa-i dalam Sunan-nya, Kitab Ath-Thaharah, Bab An-Niyyah fil Wudhu' no. 59-60;
Ibnu Majah dalam Sunan-nya, Kitab Az-Zuhd, Bab An-Niyyah, no. 4227 dan sebagainya. Selengkapnya lihat Al-Kutub
at-Tis’ah, (Syirkah ash-Shahr li Barâmij al-Hâsib, 1996).
[18] Shâlih ibn Ghânim as-Sadlân, AL-Qawâid
al-Fiqhiyyah…, hal. 54.
[19] Shâlih ibn Ghânim as-Sadlân, AL-Qawâid
al-Fiqhiyyah…, hal. 54; Lihat juga Imam Nawawi, Syarah Arba'in, hal.
8; Abul Abbas Kholid Syamhudi, “Peran Niat Dalam Amal” dalam http://muslim.or.id/artikel/fiqh-dan-muamalah/peran-niat-dalam-amal-2.html, acessed on
18 Maret 2008.
0 komentar:
Posting Komentar